Jumat, 15 Juli 2011

Nilai-nilai luhur dalam pembelajaran seni tradisi


Penanaman Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa

Melalui Pembelajaran Seni Tradisi di Sekolah

Oleh : Wegang Sri Sulanjari, S.Sn.

Ditengah-tengah perdebatan apakah seni tradisi mengalami kemunduran atau justru mengalami perkembangan ditandai dengan semakin maraknya seni tradisi dikemas dengan sedemikian rupa untuk industri wisata.Banyaknya seni tradisi Indonesia yang diklaim negara tetangga untuk kebutuhan promosi wisata mereka. Begitu hangat dan hebatnya hal itu dibicarakan meski sampai sekarang tidak tahu ujung pangkal penyelesaiannya. Kita terlalu asyik memperdebatkan hal itu, tetapi justru kita tidak memikirkan hal yang fundamental mengenai bagaimana kita yang mengaku pemilik seni-seni yang luar biasa itu bisa mempertahankan atau melestarikan dan yang lebih penting lagi, sudahkah kita memikirkan tongkat estafet ”kepemilikannya” ke generasi berikutnya ?

Pernahkah kita bertanya pada anak-anak sekarang, seberapa besar mereka mengenal kesenian tradisi dari daerahnya sendiri ? Berapa jumlah nama tarian atau seni pertunjukan tradisi yang bisa mereka sebutkan ? Apa yang mereka ketahui tentang tokoh-tokoh wayang ? Bukan menjadi sesuatu yang mengejutkan lagi ketika jawaban dari mereka kebanyakan adalah tidak tahu, jangankan melihat,mendengarkan saja belum pernah. Dan jangan pernah bertanya pada mereka instrumen gamelan apa yang bisa mereka mainkan, tari apa saja yang bisa mereka kuasai, tembang macapat mana yang paling mereka suka.

Sebaliknya coba kita tanyakan seberapa dekat mereka mengenal tokoh Naruto yang dengan mudah bisa mereka download secara gratis sampai dengan seri ke 42. Mereka pasti akan sangat dengan lancar dan semangat menceritakannya sama seperti menceritakan tokoh-tokoh seperti Piece One, Avatar, X-Men dll. Mereka juga akan lebih hafal dan urut menceritakan kisah Harry Potter daripada kisah Mahabarata ataupun Ramayana.

Kita bisa berharap pada sanggar-sanggar seni tradisi anak, padepokan-padepokan seni anak, dan anak-anak dari seniman yang mewarisi darah seniman dari orangtua dan pada akhirnya bisa diharapkan untuk ”nguri-uri” seni tradisi. Akan tetapi berapa jumlahnya dibandingkan dengan jumlah seluruh anak di kota Solo ini, bahkan di Indonesia ? Telah banyak sekali seminar-seminar, workshop yang membahas kekhawatiran ini, dan apakah kita sudah bisa lega dari kekhawatiran itu ? Jawabannya adalah ” belum ” !

Seni Tradisi di Sekolah

Bagaimana dengan sekolah ? Belakangan ini memang banyak sekali peneliti, pakar pendidikan dan seniman yang memberikan perhatian pada pembelajaran mengenai seni tradisi di sekolah. Hal ini juga didukung oleh Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memberi ruang dan waktu bagi seni tradisi agar dapat diajarkan di sekolah. Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya. Setiap daerahpun diwajibkan untuk memberikan muatan lokal yang berupa bahasa daerah dan seni tradisi setempat. Guru-guru senipun kemudian diberikan tempat yang sejajar juga dengan guru-guru mata pelajaran yang lain, hal ini ditandai dengan adanya formasi PNS untuk guru-guru tari, karawitan dan seni rupa.

Ditengah-tengah seni populer modern saat ini, bagaimana seni tradisi diajarkan disekolah? Sejauh mana seni tradisi bisa memberikan kontribusi positif terhadap siswa ?

KH Dewantara mengatakan bahwa pembelajaran seni tradisi dapat menghaluskan budi. Alat untuk menghaluskan budi adalah penglihatan dan pendengaran, penglihatan berpengaruh pada pemikiran dan pendengaran berpengaruh pada perasaan dan perangai. Dengan halusnya kedua panca indera tersebut maka akan semakin halus budi pekerti seseorang, karena panca indera adalah alat yang menghubungkan jiwa manusia dengan lingkungannya.

Pembelajaran seni tradisi bertujuan untuk memberikan kecerdasan etika, sikap, nilai dan moral. Menurut Prof Waridi, masih jarang yang mempertanyakan dan menggali secara sungguh-sungguh kemampuan dan potensi nilai-nilai ketradisionalan seni nusantara dalam ikut menganyam pencitraan identitas bangsa. Juga belum banyak yang mencoba membicarakan potensi seni tradisi dalam konteks kekinian. Belum banyak pula yang menggagas untuk menjadikan seni tradisi sebagai sarana penanaman nilai-nilai kenusantaraan terhadap siswa-siswa sekolah sejak dini.

Banyak yang mengatakan bahwa saat ini kita sedang mengalami krisis budaya yang semakin memprihatinkan, seharusnya segera dipikirkan bagaimana menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin pada seni tradisi.

Tantangan dan kendala

Meskipun saat ini sudah mulai ada dukungan dan perhatian terhadap pembelajaran seni tradisi di sekolah, namun masih banyak tantangan dan kendala yang dihadapi baik secara intern ( sekolah dan pembuat kebijakan pendidikan ) maupun dari ekstern ( faktor-faktor luar )

  1. Masih banyak yang menganggap bahwa seni tradisi hanya merupakan “pelajaran hiburan”, “pelajaran refreshing”, “pelajaran tambahan untuk mengusir kebosanan anak-anak karena terlalu padat dengan materi-materi yang di UAN kan”. Pelajaran seni pada akhirnya juga tidak dianggap sebagai pelajaran yang penting karena bukan menjadi tolok ukur kelulusan siswa
  2. Siswa masih menganggap bahwa pelajaran Seni Tradisi/ Kesenian Daerah adalah pelajaran yang kuno, jadul, masa lalu dan tidak penting untuk dipelajari. Ditambah lagi dengan “ momok Ujian Nasional “, dimana guru dan siswa seperti dikejar target untuk menyelesaikan materi dan membahas soal sebanyak-banyaknya. Tidak terlalu mengherankan kalau banyak sekolah meniadakan pelajaran Kesenian Daerah dan atau pelajaran-pelajaran lain yang tidak di UAN kan di kelas tingkat akhir pada bulan terakhir pelajaran sebelum UAN dilaksanakan.
  3. Masih menjadi perdebatan yang tiada kunjung selesai terhadap pilihan-pilihan materi pendidikan seni yang harus dikomposisikan dalam disain kurikulum sekolah formal. Pada akhirnya evaluasi hasil pembelajaran dititikberatkan pada ukuran-ukuran materiil ( siswa harus bisa menghafal, siswa harus bisa membawakan, siswa harus bisa menyanyikan tembang, siswa harus bisa menyebutkan silsilah pandawa, siswa harus bisa menyebutkan pendapat tokoh-tokoh tentang pengertian tari ..dan sebagainya ). Memang hal itu juga menjadi salah satu indikasi keberhasilan pembelajaran, akan tetapi seharusnya ada keseimbangan antara ukuran-ukuran materi dan ukuran-ukuran non materi yang pada dasarnya telah disepakati bersama menjadi tujuan pembelajaran seni tradisi di sekolah yaitu untuk menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
  4. Dampak dari globalisasi dan teknologi informasi yang semakin luar biasa canggih, tanpa bisa di filter sama sekali. Bersamaan dengan itu juga budaya-budaya populer dari berbagai negara juga begitu hebatnya masuk ke Indonesia tanpa bisa terkendali, bisa diakses dengan begitu cepat dan sangat murah. Penjelajahan informasi lewat internet bukan lagi menjadi aktivitas dari kalangan-kalangan tertentu saja tetapi juga sudah menjadi hobi semua kalangan, semua kelas dan strata masyarakat, termasuk juga anak-anak sekolah. Lewat handphone mereka bisa mengakses dengan gratis dengan jaringan Wi-fi / hotspot yang disediakan sekolah. Informasi dan gambar-gambar tentang seni tradisi tentu saja bukan menjadi pilihan utama anak-anak, selain karena bagi mereka tidak menarik , juga karena keterbatasan ketersediaan informasi yang masih terlalu sedikit tentang seni tradisi itu sendiri.
  5. Masih banyak guru-guru seni yang mengajar dengan cara konvensional sehingga siswapun menjadi semakin bosan dan tidak tertarik sama sekali untuk mengikuti lebih lanjut.
  6. Kurangnya buku dan media pustaka lainnya mengenai kesenian daerah, kalaupun ada itupun juga buku-buku lama yang dicetak kembali, dan agak berat untuk dibaca siswa . Sulit sekali mencari buku-buku sebagai referensi pelajaran kesenian daerah. Bahkan untuk SMP saat ini tidak ada buku pegangan sama sekali sebagai bahan ajar, kecuali buku Kesenian Daerah yang disusun oleh MGMP ( Musyawarah Guru Mata Pelajaran ) Kesenian Daerah.
  7. Keterbatasan sarana dan prasarana pembelajaran, misalnya ruang kesenian, alat peraga ( wayang kulit, kostum tari ) dan sebagainya. Selain itu juga keterbatasan dana untuk melakukan kegiatan apresiasi ke tempat-tempat pertunjukan kesenian.

Apa yang bisa dilakukan ?

Proses belajar dengan seni, belajar melalui seni dan belajar tentang seni sebagai usaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur untuk mewujudkan jati diri bangsa, membutuhkan komitmen dari berbagai pihak.

  1. Ketika laboratorium bahasa, laboratorium IPA, laboratorium TIK dan Multimedia Center dibangun sedemikian megah ; alangkah baiknya kalau dibuatkannya juga Laboratorium Seni. Alokasi waktu dan dana yang tidak diskrimatif terhadap pelajaran seni tradisi.
  2. Kesampingkan dulu pemberian materi yang terlalu berat, harus sesuai pakem, dan target-target lain yang bersifat tuntutan “kebisaan” siswa terhadap penguasaan materi, yang pada akhirnya justru akan membuat siswa menjadi malas, bosan dan tidak interest karena menganggapnya susah
  3. Pemberian metode pembelajaran yang menarik dan mengasyikkan namun bermakna untuk diikuti siswa. Pembelajaran konvesional bukan jamannya lagi untuk diberikan. Kontekstual Teaching dan Learning menjadi pilihan agar pelajaran seni tradisi tidak lagi menjadi jadul, kuno dan dianggap masa lalu.
    1. Target pertama adalah menimbulkan rasa senang . Rasa senang baik itu terhadap materi ataupun senang terhadap guru karena menyampaikan materi dengan cara yang menarik akan memancing rasa ingin tahu anak-anak lebih besar terhadap seni tradisi.
    2. Selalu Up To Date, akan menarik kalo materi seni tradisi yang bersifat knowledge misalnya sejarah tari, cerita pedhalangan, makna macapat dan sebagainya diberikan dengan merelasikan kondisi saat ini, hal-hal yang mereka sedang sukai, dan sesuatu yang sedang ngetrend.
    3. Perbanyak diskusi dan biarkan siswa mengintrepetasikan dengan cara mereka sendiri. Dengan demikian akan timbul kecintaan siswa terhadap seni tradisi dengan menemukan sendiri keunikan-keunikan dan keindahan-keindahannya. Jika seorang anak akan meniru siapapun dan apapun yang mereka senangi, maka merekapun akan mengaplikasikan nilai-nilai dan makna dari seni-seni tradisi dalam perilaku mereka
    4. Guru harus selalu kreatif melihat dan memutuskan metode belajar yang tepat untuk diterapkan. Bagaimana caranya agar materi yang disampaikan menjadi aktif, kreatif, efektif dan suasana kegiatan belajar mengajar menjadi menyenangkan. Metode penokohan, saling bercerita, menggambar kartun wayang, membuat lirik tembang macapat, menari berkelompok dan sebagainya.
  4. Sarana dan prasarana mengajar memang menjadi kendala, tetapi jangan terlalu terbatasi. Buat inovasi-inovasi untuk mensiasati apa yang tidak ada dan memanfaatkan apa yang ada. Sebagai contoh, saat ini banyak sekali sekolah yang menyediakan laboratorium multimedia, hal ini bisa dimanfaatkan untuk membuat metode pembelajaran e-learning. Membuat blog khusus pelajaran kesenian daerah dimana siswa bisa menyusun tugas dan hasil karyanya melalui blog ini. Disini guru juga bisa meng-upload video tari, seni pertunjukan, gambar-gambar peristiwa seni, informasi tentang perkembangan seni daerah dan sebagainya. Guru kesenian daerah bisa bekerjasama dengan guru TIK, dimana siswa bisa menerapkan dua tugas pelajaran sekaligus. Dengan demikian, jam pelajaran yang terbatas, sarana kelas yang tidak memadai bisa diatasi.
  5. Perlunya para pemerhati dan pekerja seni mulai memikirkan untuk membuat buku-buku acuan tentang seni tradisi yan diperuntukkan khusus untuk anak-anak. Kebutuhan akan buku-buku ini sudah menjadi sesuatu yang urgent, dimana sember pustaka adalah hal yang paling mudah bagi anak-anak untuk menuntaskan keingintahuannya mengenai seni tradisi. Buku yang diharapkan adalah buku yang memakai bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Kalau anak-anak bisa menghafal tokoh-tokoh yang ada dalam novel Harry Potter 5 seri, kenapa tidak dipikirkan untuk membuat novel tentang Anoman, Pandawa, lengkap dengan senjata-senjata dan ajian-ajian yang tidak kalah hebatnya dengan tokoh-tokoh dalam novel-novel luar negeri yang sedang digemari saat ini. Bukan menjadi impian kalau nantinya kita melihat banyak anak-anak yang menjadikan novel-novel dan komik kisah-kisah wayang sebagai bacaan wajib dan sebagai tambahan koleksi dari berderet-deret novel dan komik lain yang menjadi best seller.Apakah juga menjadi impian yang terlalu muluk-muluk kalau kisah wayang juga menjadi film kartun yang ditayangkan di TV dan menjadi kegemaran bagi anak-anak ?
  6. Kerjasama dari pihak sekolah, komite sekolah dan orang tua dengan para pemerhati seni dan seniman untuk mengadakan workshop seni tradisi, pergelaran seni tradisi, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat promosi dan edukasi mengenai seni tradisi kepada anak-anak dari sekolah ke sekolah. Hal ini bisa dilakukan untuk mengisi waktu setelah test bersama, biasanya ada 4 sampai dengan 5 hari sebelum pembagian raport.

Usaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa melalui pendidikan dan pembelajaran seni tradisi di sekolah memerlukan komitmen dan usaha dari berbagai pihak. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mencapai hal tersebut, akan tetapi mau tidak mau hal ini harus segera di fokuskan dan dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan jati diri bangsa.